Sebagai renungan bagi kita semua dan juga pejabat Kementerian Negara Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang meminta kenaikan gaji para pejabat negara.
Kisah ini merupakan suatu fenomena kemiskinan hidup bagi 32.5 juta
rakyat Indonesia. Suatu realitas yang hadir ditengah-tengah masyarakat.
“Nyeruput teh dulu di sini, Neng. Panas banget,”
ajak Kusnan (47) sambil menuju lapak warung minuman di sudut Pasar
Cipulir, Jakarta Selatan, Selasa (20/10). Setumpuk celana pendek
dagangannya disampirkan di sandaran kursi plastik. Tas pinggang
dibukanya, hanya tampak lima empat lembar uang ribuan dan buku catatan kecil kumal.
Kusnan mencomot sepotong tempe goreng dan meneguk teh hangat, makan siangnya hari itu. ”Beginilah, sudah dari jam delapan keliling pasar, baru empat orang yang bayar kredit celana. Kalau lagi untung, setengah hari begini sudah dapat Rp 15.000, bisa makan nasi saya,” katanya.
Kusnan salah satu
dari banyak penjual pakaian secara kredit dengan daerah operasi di
pasar-pasar dan perkampungan di Jakarta. Selain celana pendek, dagangan
mereka antara lain daster, pakaian anak-anak, celana jin, busana
muslim, hingga pakaian dalam perempuan.
Konsumen mereka
mulai dari pekerja di pasar, pemilik lapak-lapak kecil, hingga ibu-ibu
rumah tangga. Harga dagangan mulai dari Rp 10.000 untuk tiga pakaian
dalam anak-anak sampai Rp 200.000 untuk satu setel busana muslim plus
kerudung atau jilbab. Waktu dan besar cicilan disesuaikan dengan
kemampuan konsumen.
Harga celana pendek dagangan Kusnan, misalnya, rata–rata Rp 10.000-Rp 20.000. Yang berminat cukup membayar Rp 1.000 per hari. ”Setiap
hari, paling tidak ada satu sampai 20 celana bisa saya jual. Cicilan
pertama dibayar saat itu juga. Pemasukan lain dari nagih ke pembeli
sebelumnya. Sayangnya, selalu saja ada yang menunggak, bahkan tidak
bayar karena pindah atau benar-benar tidak punya uang. Mau ditarik
barangnya tidak mungkin, sudah telanjur dipakai,” katanya.
Kusnan menambahkan,
ia mengambil celana itu dari perajin konveksi yang juga tetangga
sebelah rumah petak kontrakannya, tak jauh dari Pasar Cipulir.
Bergantung model, bahan, dan ukuran, celana jualannya dipatok Rp
6.000-Rp 12.000 per potong. Kalau lancar, Kusnan sebenarnya bisa untung
Rp 4.000-Rp 8.000 setiap satu celana yang lunas terbayar.
Sekitar enam tahun
lalu, Kusnan mengaku memiliki lapak kecil tempat ia dan istrinya
berdagang pakaian di dekat Pasar Kebayoran Lama. Namun, nasib
membawanya menjadi korban gusuran. Lusinan pakaian dan lapak disita petugas, tak pernah kembali. Tanpa modal, Kusnan kesulitan memulai lagi membuka usahanya.
”Saya sudah
dari umur 15 tahun merantau dari Tegal, Jawa Tengah, ke sini. Pernah
jadi tukang batu sebelum akhirnya bisa buka lapak. Setelah digusur, istri dan tiga anak saya masih butuh makan. Ya sudah, jadi tukang kredit celana. Pendapatan turun, tetapi antigusuran,” katanya tergelak.
Bagi Kusnan, tidak ada alasan untuk tidak tertawa di sela-sela keletihan akibat berkeliling Pasar Cipulir dan kampung-kampung di sekitarnya. Selasa kemarin, jika
nasib baik belum menghinggapinya, dipastikan hanya kurang dari Rp 4.000
yang bisa diberikannya kepada sang istri. Yang penting usaha, tegasnya. (kompas)
*******
Berapakah pengeluaran Anda per hari?
Untuk belanja dan jajan sehari-hari saja mungkin kita menghabiskan
lebih dari Rp 10.000, Rp 25.000, Rp 50.000, Rp 200.000, bahkan diatas
Rp 1 juta per hari. Dan adakalanya kita masih merasa kurang cukup. Kita
selalu merasa tidak cukup dan mencari lebih dan berusaha mencari lebih.
Terus mencari lebih bukanlah sesuatu buruk selama kita masih bisa
bersyukur dan mencari dengan cara yang benar (halal). Bila dengan
motivasi mencari lebih dilakukan degan kerja keras, maka setiap
pencapaian yang lebih tinggi layak kita syukuri.
Bagi sebagian besar orang yang membaca
artikel ini, bisa saya pastikan bahwa pengeluaran per harinya jauh
diatas pendapatan yang diperoleh oleh istri Kusnan beserta tiga
anaknya. Jika kita kalkulasikan, dalam kondisi yang kurang beruntung,
Kusnan hanya mampu memberikan Rp 4000 per hari kepada 1 istri + 3
anaknya. Artinya, masing-masing orang hanya mendapat jatah Rp 1000 per
hari. Meskipun tidak tiap hari Kusnan mengalami nasib yang kurang
beruntung, namun penghasilan rata-rata Kusnan berkisar Rp 20-an ribu
per hari. Penghasilan Rp 20-an ribu itu harus dibagi 5 orang (Kusnan +
Istri + 3 anaknya). Artinya, setiap hari rata-rata keluarga Kusnan
hanya berpenghasilan Rp 4000.
Meskipun penghasilan sangat pas-pasan,
namun Kusnan tidak pernah pantang menyerah. Ia terus berjuang dan
bekerja, meski ia mungkin selalu dikatain oleh orang-orang berpaham
neolib sebagai orang pemalas karena kemiskinannya. Sebenarnya, kisah
Kusnan bukanlah kisah satu-satunya kemiskinan yang menimpa rakyat
Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, terdapat 32.5 juta penduduk miskin Indonesia dengan penghasilan dibawah Rp 6.675/hari (BPS per Maret 2009)
atau Rp 200.000 per bulan. Dan tentu keluarga Kusnan termasuk salah
satunya. Adalah tugas besar pemerintah untuk bekerja keras menciptakan
lapangan kerja untuk mengentas kemiskinan, bukan dengan ‘menyuap’ uang
BLT Rp 100.000 pada saat-saat menjelang kampanye.
Bagi kita yang masih hidup dengan
materi lebih baik daripada Kusnan, sudah saatnya kita belajar untuk
bersyukur. Kita harus bersyukur atas semua kita miliki berasal dari
usaha dan keringat halal, berapapun nominalnya. Dan jangan sekali-kali
kita bersyukur karena melihat orang lain lebih menderita karena kita.
Meski ini adalah cara awal kita untuk mentriger kita untuk
berintropreksi diri.
Salah satu hal yang membuat kita tidak
bisa bersyukur karena kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita
inginkan, bukan pada apa yang sudah kita miliki. Katakanlah kita sudah
memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang
baik. Tapi kita mungkin masih merasa kurang dan kita menginginkan rumah
yang lebih besar dan mewah dan mobil yanhg lebih lux. Tapi anehnya,
walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat,
lalu kita akan merasa tidak bahagia lagi.
Salah satu caranya adalah cobalah lihat
keadaan di sekeliling kita, pikirkan yang sudah miliki, dan syukurilah.
Kita akan merasakan nikmatnya hidup dengan bersyukur. Bersyukur itu
harus, dan lebih bersyukur itu adalah hak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar