Laman

Rabu, 02 November 2011

Pentingkah Melanjutkan Pascasarjana(S2)??

Mengenai penting atau tidaknya melanjutkan sekolah S2 atau pascasarjana, dibawah ini ada segelintir pendapat dari p’awang (BP Migas) mengenai penting atau tidaknya melanjutkan S2 .
Saya mengamati atau mendapatkan cerita langsung dari orangnya beberapa alasan mengapa orang merasa perlu melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2. Alasan-alasan itu adalah : (1) mengejar karier yang mensyaratkan pendidikan minimal S2 -misalnya dosen, beberapa posisi di kantor pemerintah, dll.; (2) sekedar menambah gelar agar gengsi dan harga diri naik, -terjadi pada beberapa teman yang kebetulan mertuanya S3 atau gurubesar, merasa diri kurang kalau hanya S1, mungkin juga disarankan sekolah lagi oleh mertuanya itu; (3) ingin menambah ilmu tetapi tidak bisa  belajar sendiri; (4) gaya hidup masa kini,  terdorong oleh teman-teman sekelompoknya yang sudah melanjutkan S2.
Saya mengamati atau mendapatkan cerita langsung dari orangnya beberapa alasan mengapa orang merasa perlu melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3  : (1) untuk karier yang lebih baik dan syarat kepangkatan di bidang akademik atau lembaga penelitian, (2) gengsi dan harga diri, merasa lebih hebat bila bisa jadi doktor, (3) ingin menjadi konsultan, kalau gelarnya doktor tentu merasa lebih gampang dalam mencari order dan calon klien lebih tertarik.
Seorang dengan gelar S2 atau S3 tentu memiliki nilai lebih saat mencari pekerjaan, mereka punya nilai tawar yang lebih tinggi daripada seorang dengan hanya gelar S1 bila tidak melihat pengalaman sebelumnya. Apalagi kalau si pemberi kerja hanya mensyaratkan lowongan kerja bagi S2 ke atas, tersingkirlah para S1.
Secara singkat, ingin saya katakan dan harus diakui, bahwa punya gelar akademik lebih daripada S1, khususnya S2 ke atas, jelas lebih baik  – untuk berbagai keperluan.
NAMUN DEMIKIAN, saya tidak mengatakan bahwa kualitas seorang S2 atau S3 pasti lebih baik daripada S1. Seharusnya para S2 atau S3 lebih baik daripada S1, tetapi ternyata tidak selalu begitu. Yang lebih baik banyak, tetapi yang biasa-biasa saja juga banyak. Akhirnya, saya harus berkesimpulan bahwa yang menjadikan seseorang berkualitas baik bukanlah seberapa tinggi dia bersekolah atau di mana ia bersekolah; tetapi seberapa tekun, tahan, dan konsisten ia belajar dan berkarya terus.
Apalah artinya seorang S2 yang bersekolah 2 atau 3 tahun lalu berhenti belajar setelah lulus, yang penting gelar master atau magister sudah boleh ditaruh di belakang namanya. Apalah artinya seorang S3 yang bersekolah 3 atau 5 tahun lalu berhenti belajar dan hanya berkarya sekali tak lebih daripada disertasinya. Lebih baik seorang S1 yang memutuskan tidak melanjutkan sekolah lagi tetapi terus belajar dan berkarya seumur hidupnya. Tetapi, langka orang seperti ini. Dan yang amat sangat langka adalah yang SMA pun tidak tamat, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di dua perguruan tinggi terkenal di Jepang, dan karyanya luar biasa banyaknya. Orang seperti ini ada, siapa lagi kalau bukan Ajip Rosidi, yang menulis autobiografinya “Hidup tanpa Ijazah” setebal  1330 halaman.
Mencari gelar S2 atau S3 yang resmi (bukan palsu) hanya ada di perguruan tinggi, tetapi mencari ilmu pengetahuan setinggi apa pun sungguh bisa dilakukan di mana-mana selama ada nawaitu (niat yang kuat) dan usaha serius membaca, belajar, berkarya, berdiskusi, menggembleng diri terus-menerus.
Yang ingin menambah gelar akademik silakan dan itu baik sekali, tetapi yang lebih penting adalah menjadikan belajar dan berkarya sebagai kebiasaan. Sekolah ada akhirnya, tetapi kebiasaan dibawa seumur hidup, dan kebiasaanlah yang membentuk karakter seseorang.
Seperti kata Aristoteles, “Virtus magis percepta per habitum quam doctrinam” (kebajikan itu diperoleh lebih melalui kebiasaan daripada melalui ajaran)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar